Jampangkulon.

Wapsite.Me


HOME
Full Site


Hari : Monday | Tanggal : 13/05/2024 | Jam: 02:07

Di lihat : 5060


Versi Mobile

Kisah Misteri - Kisah Nyata - Sumur Pantek Depan Rumah
Di tulus pada: 14 Jan 2016 - 08:59:09
Oleh : Elang

Kisah Misteri - Kisah Nyata - Sumur Pantek Depan Rumah

Suara Genset meraung-raung membelah kebisingan jalan kampung. Bercampur- berpadu dengan suara hilir mudik kendaraan di depan rumah Ane. Suaranya kadang menderu kadang mencicit menyerupai lengkingan seorang perawan yang sedang terancam. Getaran yang ditimbulkannya menggoyang jalinan pilar-pilar bambu yang menahan beban genset itu sendiri. Pak Midun nampak cemas mengawasi Pipa besi panjang yang mengaduk-aduk tanah sejengkal, lokasi tanah yang akan kami bikin sumur. Lokasinya memang kurang menguntungkan, berada tepat di sebelah kiri depan halaman rumah kami, antara perbatasan teras dengan halaman. Pak Midun mondar-mandir, kecemasan di wajahnya semakin tampak nyata tergambar. “Coba kita ulangi lagi dengan tekanan yang lebih besar Man..” kata Pak Midun, suaranya hampir tak terdengar, tertelan deru genset yang menggeram. Sementara dua orang anak buah Pak Midun sudah sangat kelelahan, seperti malas oleh situasi yang dihadapi mereka kini. “Tetap saja Pak” Teriak Maman.
“Kena batu lagi Pak, padahal kedalaman sudah 14 meter.” Kata Pak Midun seperti menujukan ke Ane. Ane diam, pura-pura tak menghiraukan dengan apa yang terjadi. Ane tak ingin memburu- buru Pak Midun atau yang
lainnya untuk segera menyelesaikan pembuatan sumur ini, karena mereka juga sudah bekerja dengan cukup keras dan nyatanya berkali-kali menemui kendala pada lapisan tanah di bawah yang selalu mentok dengan batu.
Matahari sudah semakin dekat ke cakrawala tapi pekerjaan belum selesai. Mata bor tetap mengenai batu. Entah seberapa besar dan tebal batu itu sampai tak tembus-tembus juga. Dua pekerja kelelahan, mesin Genset mati. Pekerjaan dihentikan. Bertiga mereka menikmati hidangan yang disajikan istri Ane. Pak Midun kelihatan pucat. Laki-laki paruh baya ini masih nampak gagah meski usianya sudah kepala lima. Pak Midun ini adalah paman dari kawan
Ane, yang sehari-hari banyak menerima pesanan pengerjaan Sumur bor atau pantek. Keponakannya seorang insinyur yang kebetulan minggu-minggu terakhir ini banyak berinteraksi dengan Ane untuk urusan bisnis. Daryono, nama keponakan dari Pak Midun ini banyak koneksi jual beli limbah industri yang
sering kami jalankan. Kadang besi tua, kadang sisa-sisa tembaga dari berbagai proyek yang banyak ia ketahui. Daryono memberikan rekomendasi untuk pamannya sendiri ketika Ane mengeluh akan air di rumah kami yang selalu bermasalah. Jalan satu-satunya untuk masalah air di rumah kami adalah membuat sumur baru karena sumur lama terlalu dekat dengan pembuangan air, itulah masalahnya. Dua hari ini Pak Midun bersama dua orang anak buahnya mengerjakan Sumur baru di rumah kami. Hari pertama pengerjaan, mata bor mengenai batu. lalu pindah titik lokasi beberapa meter dari titik pertama. Pada titik lokasi kedua juga menemui batu besar, pada kedalaman yang baru tiga meter. Mau tidak mau, dicari lagi titik baru hingga didapat titik terakhir yang posisinya malah lebih dekat ke teras, persis di depan rumah. Dan mata bor sudah mencapai kedalaman empat belas meter ketika tiba-tiba mata bor itu mengenai batu, tak tembus-tembus juga. “Pak, kelihatannya ini aneh” Pak Midun mengeluh, menghela nafas. Dari getar suaranya seperti ada rasa khawatir.
“Sering seperti ini Pak?” tanya Ane.
“Justru itulah, baru kali ini mata bor Saya tak tembus-tembus. Sudah tiga kali matabor Saya patah, sudah tiga kali ganti mata bor. Sebesar apa batu itu…” Pak Midun menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menghilangkan kegalauannya.
“Aneh ya Pak…” Ane menimpali. Di luar mulai gelap. langit menghitam. Beberapa teguk kopi hitam membuat Ane tenang. Dari Mushola kampung terdengar adzan, suaranya cempreng tanpa ekho. Menggelegar memecah udara petang. Gerimis menitik pelan.. Kampung Sindangkarsa menggigil. Mereka berpamitan, pak Midun berjanji untuk
datang lagi seusai Magrib. Pancang-pancang bambu dan tanah- tanah sisa pantek yang menggunduk di sekeliling titik sumur yang belum jadi itu terlihat mengerikan dalam kondisi gelap. Ane mundur beberapa langkah ketika terdengar suara gemuruh mengitari titik sumur itu. Suaranya begitu jelas. Bergegas Ane masuk ke dalam, kemudian Sholat Magrib bersama istri Ane. dari luar rumah, terdengar suara anjing menyalak melolong. Selepas Isya, Pak Midun datang sendirian. Dia membawa sebuah bungkusan kresek hitam. Agak gugup dibukanya kresek besar itu, dikeluarkannya serbuk kopi berikut rokok klobot dan sebungkus gula pasir. “Saya baru saja dapat petunjuk Pak, mudah-mudahan besok sumur itu sudah bisa diteruskan dan langsung selesai” Berbicara Pak Midun, menjelaskan pada Ane.
“Maksud Pak Midun?” tanya Ane.
Untuk tempat-tempat ‘khusus’ seperti tempat Bapak ini tak bisa disepelakan. Tak bisa digali atau dibor begitu saja.”
“Begitu ya Pak?”
“Ini saya bikinkan sendiri, Saya minta disediakan wadah saja Pak, Baki kosong” Lalu Ane mengambil Baki di dapur. Istri Ane yang sedang ngeloni si kecil menanyakan untuk apa Baki itu, Ane bilang bahwa Pak Midun memerlukannya. Pak Midun meletakan Baki dengan gelas- gelas berisi kopi pahit kopi hitam, dan rokok klobot di dekat titik sumur baru kami. Dinyalakannya gulungan kertas dalam asbak,
lalu tangannya menaburkan kemenyan. Mulutnya mendesis-desis membacakan sesuatu yang nggak Ane tahu, pelan dan hanya bunyi desisan yang terdengar. Bau harum kemenyan yang kemerutuk di atas api
menambah seram, Suasana terasa mencekam. tak ada satupun mobil atau motor yang lewat di jalanan depan rumah, hening menghentak seakan mengiringi doa- doa yang dibacakan Pak Midun. Selesai melakukan ritualnya, Pak Midun terpekur. dia
bangkit sambil matanya nyalang menyapu segenap penjuru halaman rumah Ane, kemudian matanya tertuju ke dalam rumah. “Saya pulang Pak” Pamit pak Midun kemudian.Pak Midun meletakan Baki dengan gelas- gelas berisi kopi pahit kopi hitam, dan rokok klobot di dekat titik sumur baru kami. Dinyalakannya gulungan kertas dalam asbak,
lalu tangannya menaburkan kemenyan. Mulutnya mendesis-desis membacakan sesuatu yang nggak Ane tahu, pelan dan hanya bunyi desisan yang terdengar. Bau harum kemenyan yang kemerutuk di atas api
menambah seram, Suasana terasa mencekam. tak ada satupun mobil atau motor yang lewat di jalanan depan rumah, hening menghentak seakan mengiringi doa- doa yang dibacakan Pak Midun. Selesai melakukan ritualnya, Pak Midun terpekur. dia bangkit sambil matanya nyalang menyapu segenap penjuru halaman rumah Ane, kemudian matanya tertuju ke dalam rumah. “Saya pulang Pak” Pamit pak Midun kemudian. Keesokan harinya Pak Midun dan anak buahnya kembali melanjutkan pemantekan sumur yang tertunda karena mata bor yang terhenti oleh lapisan batu. Beberapa menit saja bor berputar, lapisan batu sudah tertembus dan mengenai lapisan empuk bumi, airpun mengucur deras, bening. *****
Beberapa bulan kemudian. “Ma, kenapa Payung itu dibuka di dalam rumah? Mama yang buka?” Tanya Ane Siang itu Ane baru pulang dari kegiatan ringan kantor, tapi cukup membuat Ane kelelahan karena perjalanan yang cukup jauh.
“Bukan Saya Pa, bener. sumpah” Istri Ane menjelaskan. Memang Ane paling tidak suka bila ada payung dalam kondisi mengembang (tidak tertutup) di dalam rumah. Dari sejak kecil jika Ane membuka payung ketika masih di dalam rumah, ibu Ane pasti langsung melarang, beliau mengatakan “Ora ilok” Dalam bahasa tempat kelahiran Ane, Ora ilok berarti sangat tidak boleh untuk dilanggar. Mungkin berbau tahayul, tapi itulah.. kadang sesuatu yang memang sudah terlanjur diperingatkan akhirnya bisa berakibat kurang baik bila dilanggar. Jika diperhatikan dari segi kata-katanya, Ora ilok berarti Tidak Indah atau tidak Elok. Mungkin karena tidak indah dalam pandangan mata, sehingga orang-orang tua jaman dahulu sengaja mendramatisir kalimat-kalimat atau kata-kata itu dengan ancaman-ancaman terselubung. Dan memang, pada kanyataannya apa-apa yang didahului dengan Ora ilok untuk melarang sesuatu itu menjadi ampuh untuk ditaati. Siang ini, ternyata ada payung yang terbuka di dalam rumah Ane. Payung yang terbuka di dalam rumah Ane. Ane langsung tutup payung itu dan Ane masukkan ke dalam karung di kamar depan. Entah siapa yang membuka payung ini di
dalam rumah kami? ‘Hah’ Persetan! Ane tak peduli. Hanya bisa mengira-ngira saja, kalau memang bukan Ane, mungkin saja anak-anak tetangga sebelah. mungkin pagi tadi mereka pada main ke rumah. Kalau bukan mereka juga, mungkinkah Ane ya? Kalau Ane sih kayaknya tidak mungkin. Berartiiiiii……..??? Agan
tebak sendiri ya… Tiga hari setelah itu, di tengah panas sore yang tak begitu terik Ane menaiki motor Ane bersama dengan anak dan istri Ane. Kami dalam perjalanan pulang setelah seharian kami keluar.
Kebetulan kami ada kegiatan arisan bersama teman-teman satu kerjaan Ane. Motor Ane bawa pelan, hingga lebih dari 30 menit kami baru sampai Pasar Cibinong. Mampir sebentar di Pasar Cibinong sekedar belanja-belanja baju, makan, dan lanjut lagi perjalanan. Cuaca berubah, Langit mendung. Awan bergumpal-gumpal berarak seperti serombongan prajurit yang siap meluncurkan anak panahnya ke bumi dengan rintisan tetes tetes air. Ane pacu sepeda motor agak kencang, sesampai di pertigaan Mandala, kemudian di Simpang Joran Motor ane mengarah ke kanan. berbelok untuk ke kampung Ane ketika kemudian tiba-tiba muncul iring-iringan orang dengan membawa keranda mayat. Seketika Ane hentikan motor Ane. Ane tak mau menyalip iring-iringan, apalagi saat sedang membawa anak kecil seperti saat ini. “Siapa yang meninggal Mas?” Tanya Ane pada salah satu orang yang kebetulan lewat persis di depan Ane. Kelihatannya dia habis melayat.
“Pak Midun Mas..”. Jawabnya singkat
“Duggg!!!” Ane kaget. ANE KAGET !!! Segera Ane balik kanan, putar haluan. Kembali ke Jalan Raya Besar. Melewati Simpangan
Joran, dan pada Pertigaan gang Durian, Ane belokkan motor. Sengaja melewati jalan Gang Durian. baru sekitar tujuh menit motor merayap pada pertigaan utama untuk ke jalan bakti Mulya, kembali kami tersentak!!!. Tampak Iring-iringan dengan keranda mayat sedang menuju pemakaman umum… Mau tak mau Ane putar haluan lagi. Tancap lagi dan melewati gang lain, masuk jalan utama dan masuk gang Baring untuk ke Jalan Raya Besar kembali. Hahhhh??? Kembali ane sport Jantung. Iring- iringan laki-laki dengan empat orang paling depan, dengan keranda mayat di atas pundak mereka. Akhirnya kami kembali ke Jalan Raya Besar dan masuk Gapura Simpangan Joran. Kami dikejutkan sebuah suara. “Mas, anaknya pucat tuh..”
Ane menoleh, sebelah motor Ane. Supri dengan motor bebeknya.
“Iya Pa… anak kita pucat!”
Sesampai di rumah, kami pijit-pijit kecil anak kami, alhamdulillah tak terjadi apa- apa. Gerimis turun, langit menumpahkan butir- butir airnya.

*****


Semoga bermanfaat.

Bagikan:
F T G 0 Rate upStar


Terima kasih telah membaca Kisah Misteri - Kisah Nyata - Sumur Pantek Depan Rumah

Tags Kisah Misteri - Kisah Nyata - Sumur Pantek Depan R
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk artikel Kisah Misteri - Kisah Nyata - Sumur Pantek Depan Rumah




• Yang online di web : ( 1 )



• Hari ini ( 2 )

• Minggu ini ( 2 )

• Bulan ini ( 2 )

• Total Pengunjung : ( 5060 )

• Hello ""...!!! Your flag :

• Cuaca di daerah anda : ( )

Browser yang anda pakai :
    Mozilla
    • Mozilla/5.0 AppleWebKit/537.36 (KHTML, like Gecko; compatible; ClaudeBot/1.0; +claudebot@anthropic.com)

IP :
    • 3.21.162.249
    • ec2-3-21-162-249.us-east-2.compute.amazonaws.com


• Kecepatan membuka halaman ini : ( ) detik

Copyright © 01/09/2014 - 2024
Design by :
Elang (olenk_id™)
Powered by : XtGem

Disneyland 1972 Love the old s